Logo

Kisah Lama Perampasan Kekayaan Hayati dan Pengetahuan Tradisional di Indonesia

Published on: 5 Agu 2024

Mahasiswa

Oleh: Cahya Rudiana Putri (221091100007)

Indonesia bagaikan peti harta karun raksasa yang di dalamnya menyimpan kekayaan hayati yang luar biasa beragamnya. Keanekaragaman flora dan fauna di negeri ini menjadi modal berharga untuk kemajuan ilmu pengetahuan, industri obat-obatan, dan juga pertanian. Dengan potensi yang besar ini, kekayaan alam kita justru selalu dibayang-bayangi oleh ancaman biopiracy. Dikutip dari mongabay.com, Biopiracy adalah sebuah praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat. Yang mana istilah biopiracy ini diperkenalkan oleh aktivis asal Canada Paat Mooney dan dipopulerkan aktivis India yaitu Vandana Shiva sejak tahun 1900-an.

Sekretaris Utama LIPI, Dr. Rohadi Abdul Hadi APU, menegaskan bahwa biopiracy bukan isu sepele di Indonesia. Berbagai kasus menunjukkan praktik perampasan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional ini marak terjadi, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia. Fakta yang amat memprihatinkan menunjukkan bahwa 80% kekayaan hayati dunia berasal dari wilayah tropis dan subtropis di selatan. Hal ini membuka peluang besar bagi perdagangan di sektor obat-obatan. Namun, kekhawatiran muncul bahwa eksploitasi plasma nutfah di negara-negara tropis dan subtropis ini dilakukan secara besar-besaran tanpa persetujuan atau izin yang sah. Praktik biopiracy yang demikian ini dapat merugikan negara-negara yang dieksploitasi, karena mereka tidak mendapatkan keuntungan yang adil dari kekayaan alam mereka sendiri.

Sebenarnya biopiracy bukan cerita baru di Indonesia. Luka lama ini kembali menganga dengan beberapa kasus yang menggemparkan, bahkan sampai ke ranah internasional. Dua kasus yang mencolok adalah konflik antara Indonesia dan WHO terkait virus flu burung dan kasus Shiseido yang membelit Indonesia dengan Jepang di tahun 1995.
Pada tahun 2006, Indonesia mengirimkan sampel virus H5N1 ke WHO, sampel ini kemudian diteliti dan diolah menjadi vaksin yang dijual ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Ironisnya, Indonesia tidak mendapatkan keuntungan dari hasil vaksin ini. Indonesia yang telah menyumbangkan 58 sampel, justru tidak diizinkan WHO untuk mengembangkan vaksinnya sendiri. Paten vaksin H5N1 ini dipegang oleh perusahaan asing, Medimunne (AS) dan CSL (Australia) dan vaksin-vaksin ini secara diam-diam dijual oleh WHO ke perusahaan pembuat vaksin di Negara maju dengan nilai yang tidak murah yaitu Rp90 triliun.

Kasus lainnya terjadi di tahun 1995, tahun ini menjadi saksi bisu upaya perampasan kekayaan hayati Indonesia oleh perusahaan kosmetik Shiseido asal Jepang. Terungkap bahwa Shiseido mengajukan 51 permohonan paten yang memanfaatkan tanaman obat dan rempah asli Indonesia. Parahnya lagi, beberapa tanaman tersebut telah mendapatkan hak paten dari Kantor Paten Jepang. Tindakan Shiseido ini memancing perlawanan dari berbagai pihak di Indonesia. Salah satu organisasi non-pemerintah (NGO) maju ke pengadilan Jepang untuk menggugat paten Shiseido. Upaya ini membuahkan hasil. Pengadilan Jepang membatalkan paten Shiseido dengan alasan bahwa tanaman-tanaman tersebut telah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan baku obat dan kosmetik tradisional Indonesia, yang populer dengan sebutan “jamu”. Pembatalan paten Shiseido menjadi kemenangan bagi Indonesia dalam melawan biopiracy. Kasus ini menjadi pengingat penting tentang pentingnya melindungi kekayaan hayati dan pengetahuan tradisional Indonesia dari eksploitasi pihak asing.


Bayangkan, tanaman obat tradisional yang diracik dengan pengetahuan turun-temurun dari nenek moyang bisa dipatenkan oleh perusahaan asing tanpa sepengetahuan pemiliknya. Atau, flora dan fauna spesies baru yang ditemukan di hutan Indonesia dengan seenaknya dikomersialkan oleh lembaga riset asing tanpa memberi feedback apa-apa kepada pemiliknya. Kasus-kasus biopiracy ini menjadi pengingat bahwa peran masyarakat dan pemerintah sangat lah penting dan tidak terpisahkan. Salah satu faktor utama yang memperparah biopiracy di Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat tentang hak mereka atas kekayaan hayati. Hal ini membuat mereka mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari kekayaan alam tersebut. Ditambah lagi, kepastian hukum mengenai biopiracy masih samar. Hal ini membuka celah bagi para pelaku biopiracy untuk beroperasi tanpa rasa khawatir. Kekayaan alam ini bukan hanya warisan leluhur, tapi juga modal berharga untuk meningkatkan perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Referensi

Berita Relative

  • Magang Mahasiswa Biologi di BSIP Banten dan BLKK Riyadlusshalihien: Penerapan Ilmu di Dunia Kerja

    Biologi Kampus Serang

    22 Jul 2025

    Learn more
    Featured Image
  • Mahasiswa Biologi UNPAM Kampus Serang Gelar Kuliah Umum Konservasi Primata

    Biologi Kampus Serang

    15 Jul 2025

    Learn more
    Featured Image
  • Memperingati International Women’s Day, KAIL TALKS Hadir Sebagai Bentuk Perayaan Untuk Perempuan Di Dunia Sains

    Biologi Kampus Serang

    9 Mar 2024

    Learn more
    Featured Image
  • Prodi Biologi Universitas Pamulang PSDKU Serang Laksanakan Kuliah Lapangan di Desa Adat Baduy, Lebak Banten

    Biologi Kampus Serang

    22 Mei 2025

    Learn more
    Featured Image