Oleh: Cahya Rudiana Putri (221091100007)
Indonesia bagaikan peti harta karun raksasa yang di dalamnya menyimpan kekayaan hayati yang luar biasa beragamnya. Keanekaragaman flora dan fauna di negeri ini menjadi modal berharga untuk kemajuan ilmu pengetahuan, industri obat-obatan, dan juga pertanian. Dengan potensi yang besar ini, kekayaan alam kita justru selalu dibayang-bayangi oleh ancaman biopiracy. Dikutip dari mongabay.com, Biopiracy adalah sebuah praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat. Yang mana istilah biopiracy ini diperkenalkan oleh aktivis asal Canada Paat Mooney dan dipopulerkan aktivis India yaitu Vandana Shiva sejak tahun 1900-an.
Sekretaris Utama LIPI, Dr. Rohadi Abdul Hadi APU, menegaskan bahwa biopiracy bukan isu sepele di Indonesia. Berbagai kasus menunjukkan praktik perampasan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional ini marak terjadi, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia. Fakta yang amat memprihatinkan menunjukkan bahwa 80% kekayaan hayati dunia berasal dari wilayah tropis dan subtropis di selatan. Hal ini membuka peluang besar bagi perdagangan di sektor obat-obatan. Namun, kekhawatiran muncul bahwa eksploitasi plasma nutfah di negara-negara tropis dan subtropis ini dilakukan secara besar-besaran tanpa persetujuan atau izin yang sah. Praktik biopiracy yang demikian ini dapat merugikan negara-negara yang dieksploitasi, karena mereka tidak mendapatkan keuntungan yang adil dari kekayaan alam mereka sendiri.
Kasus lainnya terjadi di tahun 1995, tahun ini menjadi saksi bisu upaya perampasan kekayaan hayati Indonesia oleh perusahaan kosmetik Shiseido asal Jepang. Terungkap bahwa Shiseido mengajukan 51 permohonan paten yang memanfaatkan tanaman obat dan rempah asli Indonesia. Parahnya lagi, beberapa tanaman tersebut telah mendapatkan hak paten dari Kantor Paten Jepang. Tindakan Shiseido ini memancing perlawanan dari berbagai pihak di Indonesia. Salah satu organisasi non-pemerintah (NGO) maju ke pengadilan Jepang untuk menggugat paten Shiseido. Upaya ini membuahkan hasil. Pengadilan Jepang membatalkan paten Shiseido dengan alasan bahwa tanaman-tanaman tersebut telah lama dikenal dan digunakan sebagai bahan baku obat dan kosmetik tradisional Indonesia, yang populer dengan sebutan “jamu”. Pembatalan paten Shiseido menjadi kemenangan bagi Indonesia dalam melawan biopiracy. Kasus ini menjadi pengingat penting tentang pentingnya melindungi kekayaan hayati dan pengetahuan tradisional Indonesia dari eksploitasi pihak asing.
Referensi
- Pramono W D. 2007. Berebut Virus Sampai Jenewa. diakses pada 10 Juni 2024, dari https://majalah.tempo.co/read/nasional/123196/berebut-virus-sampai-jenewa
- Devy, A. 2018. Biopiracy Tantangan Indonesia Kini dan Nanti. diakses pada 10 Juni 2024 dari https://isnet.or.id/biopiracy-tantangan-indonesia-kini-dan-nanti/
- Islami, T dan Rani F. 2015. Kepentingan Indonesia Meratifikasi Protokol Nagoya 2013. Jom FISIP Volume 2 No. 2: 1-11
- Foxip. 2020. Kasus Pengetahuan Tradisional Dalam Kekayaan Intelektual. Diakses pada 10 Juni 2024, dari https://foxip.co.id/news/detail/kasus-pengetahuan-tradisional-dalam-kekayaan-intelektual
- Supardi, A. 2020. Antara Tanaman Obat, Sumber Daya Genetik, dan Biopiracy”. diakses pada 10 Juni 2024 dari https://www.mongabay.co.id/2020/11/08/antara-tanaman-obat-sumber-daya-genetik-dan-biopiracy/